KETERSEDIAAN PANGAN NASIONAL BELUM MENJAMIN ADANYA KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA.
Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah sangat mendasar, karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, dan ketersediaan pangan di tingkat nasional dan regional belum menjamin adanya ketahanan pangan tingkat rumah tangga atau individu. Demikian yang dikatakan Wakil Ketua Komisi IV DPR Anna Mu’awanah, yang sekaligus memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum dengan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Prof.Dr.Ir.Rokhmin Dahuri, di Gedung Nusantara DPR, Kamis, (20/1).
Anna menambahkan bahwa Pemenuhan pangan merupakan bagian hak azasi individu. Pemenuhan pangan juga sangat penting sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Hal ini disebabkan karena disamping ketersediaan pangan, ketahanan pangan rumah tangga/individu sangat ditentukan oleh akses mereka untuk mendapatkan pangan tersebut. Dalam hal ini tingkat pendapatan dan daya beli merupakan faktor penentu akses rumah tangga terhdap pangan.
Anna Mu’awanah juga menegaskan bahwa perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan dimaksudkan mampu mengatasi beberapa permasalahan yang sering muncul diseputar kualitas dan kandungannya, proses produksi dan lebeling halal pada kemasan, disamping itu juga mewujudkan kecukupan sekaligus juga menyelamatkan kecukupan pangan, menciptakan mekanisme dan distribusi yang adil, merata serta harga yang terjangkau oleh masyarakat.
Sementara itu, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Prof.Dr.Ir Rokhmin Dahuri dalam rapat tersebut telah memberi masukan kepada Komisi IV DPR, yang membahas tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tentang pangan, mengatakan ada 4 poin yang dimaksudkan adalah antara lain, mewujudkan ketahanan pangan dan ketahanan gizi, menjamin keamanan pangan, meningkatkan kesejahteraan produsen nasional dan terutama petani serta nelayan tradisional, dan menjadikan ekonomi dan industri pangan sebagai keunggulan kompetitif bangsa secara berkelanjutan.
Rokhmin Dahuri juga menambahkan bahwa Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang pangan sangat dominn berisi tentang keamanan pangan, sedangkan, aspek ketahanan pangan hanya mendapatkan porsi yang sangat kecil. Dari 65 pasal yang menyusun UU No.7 Th 1996 tersebut, 20 pasal berisi tentang keamanan pangan, sedangkan tentng ketahanan pangan hanya terdiri 6 pasal.
Rokhmin Dahuri juga menegaskan bahwa meskipun aspek keamanan pangan mendapat porsi sangat besar dalam UU No.7/96, namun praktekny ditingkat masyarakat kurang mendapat perhatin dari aparat pemerintah. Contohnya, penggunan pengawet berbahya terutama formalin hingga kini masih marak. Padahal isu ini sudah muncul sejak bertahun-tahun yang llu.
Dia menjelaskan bahwa jajaran kesehatan pernah akan menerapkan formalin rasa pahit, sehingga setiap makanan yang terkontaminasi formalin rasanya akan pahit, namun sampai sekarang tidak ada realisasinya. Sehingga pasal-pasal keamanan pangan menjadi mandul kalau tak ada penegakan hukum ditingkat masyarakat.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri juga mengatakan kembali bahwa aspek ketahanan pangan perlu mendapat porsi yang lebih besar secara proposional, menyangkut pengertian sampai tanggung jawab pemerintah pusat dn daerah, swasta, dan masyarakat untuk mewujudkan ketahanan pangan. Ketahanan pangan tidak dibatasi pada kemampuan memproduksi beras, tetapi juga jenis-jenis bahan pangan lain yang hingga kini masih impor, seperti jagung, kedelai, gula, susu, daging sapi dan garam.
Dia juga mengemukakan bahwa kelanjutan dari ketahanan pangan adalah ketahanan gizi, yakni tercukupinya gizi di tingkat rumah tangga sehingga masalah gizi kurang/buruk dapat diatasi, mengingat, ikan dan seafood juga merupakan bahan pangan yang mengandung gizi yang menyehatkan dan mencerdaskan manusia yang mengkonsumsinya. (Spy)/foto:iw/parle.